Minggu, 26 Agustus 2012

Kesuksesan Nyonya Epon dan Tini Hikmati Mulyani Sebagai Pengusaha Bordiran

Kecamatan Kawalu di

Tasikmalaya, Jawa Barat

menyimpan ketrampilan seni

masyarakat yang konon sudah

dilakukan nenek moyang mereka.

Ketrampilan itu adalah membordir. Saat ini, ketrampilan

membordir sudah menjadi sumber

penghasilan tinggi bagi

masyarakat di sana. Epon semisal. Dua belas tahun

yang lalu, Epon sudah membuka

usaha bordir bernama Al-Adnan.

Letaknya di Desa Karsamenak,

Kecamatan Kawalu. Bila dulu ia

membordir menggunakan cara manual yakni dengan tangan,

saat ini tidak begitu lagi.

Komputer sudah menggantikan

tugas tangan-tangan ini. Dengan

komputer, produksi bordir

Kawalu menjulang tinggi dibandingkan bordir pakai

tangan. Epon menghitung, satu mesin

komputer bordir bisa

menghasilkan 250 kain per hari.

"Kalau pakai tangan, satu

komputer sama dengan satu

bulan kalau pakai tangan," kata Epon. Al-Adnan punya enam mesin

bordir komputer. Keenam mesin

itu digerakkan 35 pekerja tetap

yang juga bertugas memotong

dan menjahit kain serta

mengepak barang jadi. Selain pekerja tetap, Epon punya

beberapa pekerja lepas yang

bekerja dari rumah masing-

masing. Mereka bertugas

menyambung bordir di mukena

dan baju koko yang hanya bisa dikerjakan oleh tangan. Hasilnya, bordir

tercetak rapi

beraneka motif. Dari kerja

produksi itu, dalam sebulan Al-

Adnan bisa hasilkan 600 kodi

hingga 700 kodi mukena dan baju

koko bordir. "Saya bisa jual 100 kodi baju koko per minggu dan

25 kodi mukena per minggu,"

tutur pria berusia 34 tahun. Ia

menjual mukena bordir Rp 1,8

juta per kodi. Dengan asumsi

penjualan 100 kodi mukena bordir saja per bulan, Epon bisa

mengantongi omzet Rp 180 juta. Dengan produk berkualitas, Epon

bisa menjual produknya dengan

harga murah karena bahan kain

ia dapatkan dari curahan pabrik

di Majalaya. Dari pabrik itu, Epon

dapat harga beli kain Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kain

sepanjang 90 cm. Mukena dan baju koko bordir

keluaran Al-Adnan dipasarkan ke

Jakarta, Surabaya, wilayah

Sumatera seperti Bukit tinggi, dan

Pulau Kalimantan seperti

Banjarmasin. 

Omzet besar juga didapat Tini

Hikmati Mulyani. Pengusaha bordir

bermerek Arnita Collection ini

memproduksi kebaya dan suvenir

seperti sarung kotak tisu dan

taplak meja bordir. Berbeda dengan Epon, Tini tetap

mempertahankan pengerjaan

bordir pakai tangan. "Sebagus-

bagusnya buatan mesin,

kerajinan tangan punya

keunggulan," ujarnya. Dengan bordir manual, motif satu

dengan yang lain pasti berbeda.

Pelanggan puas, harga juga bisa

berlipat. Waktu membordir yang cukup

lama yakni empat hari sampai

lima hari pengerjaan untuk kain

kebaya menjadi kendala.

Makanya, dalam sebulan, Arnita

yang dibantu enam pegawai hanya bisa menghasilkan 50

sampai 60 kebaya bordir saban

bulan. "Rata-rata satu kebaya

dikerjakan dua hari,"

ujarnya. Adapun suvenir bisa ia

hasilkan 1.000 buah per bulan. Setiap pekerja, mampu

menghasilkan 30 sampai 40

suvenir. Tini memasang harga bervariasi

untuk produknya. Misal, kebaya

bordir dari sutera berharga mulai

Rp 400.000 sampai Rp 1,5 juta

per potong dengan bahan

rawsilk, sutera organdi, sutera alam, dan sutera tenun. Ada pula

kebaya dari sutera sintetis

campuran polyester dengan

harga

Rp 250.000-Rp 400.000. Tini mendapat pasokan bahan

dari Jakarta, Bandung, dan

Makassar. "Tidak semua bahan

ada di Tasikmalaya. Jadi saya suka

cari ke kota besar yang lebih

komplit," kata Tini. Tak hanya merambah daerah-

daerah di Indonesia, produk

Arnita Collection sudah dikirim ke

Malaysia dan Singapura. Ekspor

bordir kebaya ini sudah dilakukan

Tini sejak 2006. Dari penjualan kebaya dan suvenir bordir di

dalam dan luar negeri, Tini bisa

mendulang omzet Rp 30 juta per

bulan.



--

Wassallam Aa Vije