Kecamatan Kawalu di
Tasikmalaya, Jawa Barat
menyimpan ketrampilan seni
masyarakat yang konon sudah
dilakukan nenek moyang mereka.
Ketrampilan itu adalah membordir. Saat ini, ketrampilan
membordir sudah menjadi sumber
penghasilan tinggi bagi
masyarakat di sana. Epon semisal. Dua belas tahun
yang lalu, Epon sudah membuka
usaha bordir bernama Al-Adnan.
Letaknya di Desa Karsamenak,
Kecamatan Kawalu. Bila dulu ia
membordir menggunakan cara manual yakni dengan tangan,
saat ini tidak begitu lagi.
Komputer sudah menggantikan
tugas tangan-tangan ini. Dengan
komputer, produksi bordir
Kawalu menjulang tinggi dibandingkan bordir pakai
tangan. Epon menghitung, satu mesin
komputer bordir bisa
menghasilkan 250 kain per hari.
"Kalau pakai tangan, satu
komputer sama dengan satu
bulan kalau pakai tangan," kata Epon. Al-Adnan punya enam mesin
bordir komputer. Keenam mesin
itu digerakkan 35 pekerja tetap
yang juga bertugas memotong
dan menjahit kain serta
mengepak barang jadi. Selain pekerja tetap, Epon punya
beberapa pekerja lepas yang
bekerja dari rumah masing-
masing. Mereka bertugas
menyambung bordir di mukena
dan baju koko yang hanya bisa dikerjakan oleh tangan. Hasilnya, bordir
tercetak rapi
beraneka motif. Dari kerja
produksi itu, dalam sebulan Al-
Adnan bisa hasilkan 600 kodi
hingga 700 kodi mukena dan baju
koko bordir. "Saya bisa jual 100 kodi baju koko per minggu dan
25 kodi mukena per minggu,"
tutur pria berusia 34 tahun. Ia
menjual mukena bordir Rp 1,8
juta per kodi. Dengan asumsi
penjualan 100 kodi mukena bordir saja per bulan, Epon bisa
mengantongi omzet Rp 180 juta. Dengan produk berkualitas, Epon
bisa menjual produknya dengan
harga murah karena bahan kain
ia dapatkan dari curahan pabrik
di Majalaya. Dari pabrik itu, Epon
dapat harga beli kain Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kain
sepanjang 90 cm. Mukena dan baju koko bordir
keluaran Al-Adnan dipasarkan ke
Jakarta, Surabaya, wilayah
Sumatera seperti Bukit tinggi, dan
Pulau Kalimantan seperti
Banjarmasin.
Omzet besar juga didapat Tini
Hikmati Mulyani. Pengusaha bordir
bermerek Arnita Collection ini
memproduksi kebaya dan suvenir
seperti sarung kotak tisu dan
taplak meja bordir. Berbeda dengan Epon, Tini tetap
mempertahankan pengerjaan
bordir pakai tangan. "Sebagus-
bagusnya buatan mesin,
kerajinan tangan punya
keunggulan," ujarnya. Dengan bordir manual, motif satu
dengan yang lain pasti berbeda.
Pelanggan puas, harga juga bisa
berlipat. Waktu membordir yang cukup
lama yakni empat hari sampai
lima hari pengerjaan untuk kain
kebaya menjadi kendala.
Makanya, dalam sebulan, Arnita
yang dibantu enam pegawai hanya bisa menghasilkan 50
sampai 60 kebaya bordir saban
bulan. "Rata-rata satu kebaya
dikerjakan dua hari,"
ujarnya. Adapun suvenir bisa ia
hasilkan 1.000 buah per bulan. Setiap pekerja, mampu
menghasilkan 30 sampai 40
suvenir. Tini memasang harga bervariasi
untuk produknya. Misal, kebaya
bordir dari sutera berharga mulai
Rp 400.000 sampai Rp 1,5 juta
per potong dengan bahan
rawsilk, sutera organdi, sutera alam, dan sutera tenun. Ada pula
kebaya dari sutera sintetis
campuran polyester dengan
harga
Rp 250.000-Rp 400.000. Tini mendapat pasokan bahan
dari Jakarta, Bandung, dan
Makassar. "Tidak semua bahan
ada di Tasikmalaya. Jadi saya suka
cari ke kota besar yang lebih
komplit," kata Tini. Tak hanya merambah daerah-
daerah di Indonesia, produk
Arnita Collection sudah dikirim ke
Malaysia dan Singapura. Ekspor
bordir kebaya ini sudah dilakukan
Tini sejak 2006. Dari penjualan kebaya dan suvenir bordir di
dalam dan luar negeri, Tini bisa
mendulang omzet Rp 30 juta per
bulan.
--
Wassallam Aa Vije